Hukum pernikahan beda agama, atau biasa juga dikenal
dengan pernikahan lintas agama selalu menjadi polemik yang cukup kontroversial
dalam masyarakat, khususnya negara yang memiliki berbagai macam penduduk dengan
agama yang berbeda-beda.
Indonesia merupakan negara mayoritas muslim terbanyak di
seluruh dunia, namun tetap saja sering muncul pertanyaan menyangkut perihal
pernikahan. Bolehkah seorang muslim menikahi seorang yang non muslim? Jika
boleh bagaimana Islam menyikapi hal tersebut?
Memang urusan cinta itu tidak akan ada habisnya, semakin
dibicarakan ia akan semakin sulit dicerna, seperti itulah kira-kira, karena
cinta sulit didefinisikan, dan memang sepertinya cinta akan lebih indah justru
ketika ia tanpa definisi.
Urusan cinta memang kadang ajaib, kadang-kadang ia hadir
tanpa sebab, dan hadir tanpa tau alamat sebelumnya. Hingga tidak sedikit cinta
mampir ke hati dia yang berbeda keyakinan dengan kita. Ada kalanya laki-laki
muslim mencintai perempuan yang berbeda agama dengannya, dan sebaliknya kadang
muslimah malah jatuh cinta dengan laki-laki non muslim.
Berikut ini adalah beberapa ayat yang sering dijadikan
pijakan dalam membahas hukum nikah beda agama:
Ayat-Ayat
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ
مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا
الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ
وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى
الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ
لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia
menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran” (QS. Al-Baqarah: 221)
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ
غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ
فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu
telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan
ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi”. (QS. Al-Maidah: 5)
لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka” (QS. Al-Mumtahanah: 10)
Sebab Nuzul
Surat Al-Baqarah ayat 221 ini adalah ayat pertama yang
sering menjadi awal pembahasan, dimana dalam ayat ini ada pesan larangan untuk
menikah dengan yang bukan seagama, walaupun masih belum jelas apakah pelarangan
itu bersifat mutlak haram, atau ada penjelasan lainnya.
Untuk lebih memahami konteks dimana ayat ini turun,
kiranya perlu bagi kita untuk sedikit melihat beberapa riwayat yang ada dalam
menjelaskan latar belakang ayat ini turun, sehingga dengan pengetahuan ini
diharapakan agar kita mempunyai gambaran awal dari pembahasan pada tema nikah
beda agama ini.
Setidaknya ada dua riwayat masyhur yang sering dikutip
oleh ulama tafsir dalam banyak kitabnya:
a. Riwayat Pertama
Ibnu Abbas ra. Meriwayatkan bahwa salah seorang sahabat
nabi bernama Abdullah bin Rawahah mempunyai budak perempuan hitam, lalu
kemudian karena kejadian tertentu akhirnya Abdullah bin Rawahah marah besar
dengan budaknya, lalu beliau menamparnya. Kejadian ini akhirnya diceritakan
kepada Rasulullah SAW, lalu kemudian Rasulullah SAW bertanya: “Bagaimana
keadaan budakmu itu, wahai Abdullah?” Lalu dijawab: “Dia berpuasa, shalat,
berwudhu’, dan dia juga bersyahat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Engkau
adalah utusan Allah. Maka seketika Rasul mengatakan bahwa dia adalah muslimah.
Kemudian Abdullah bin Rawahah bersumpah untuk
memerdekannya dan menikahinya, dan begitu beliau memerdekakannya dengan berani
beliau juga menikahinya. Masyarakat setempat pada waktu itu ramai memberitakan
pernikahan Abdullah bin Rawahah dengan mantan budak perempuannya, seakan itu
adalah pernikahan yang hina, sehingga mereka menyayangkan hal itu terjadi.
Ramainya pemberitaan negatif ini disebabkan karena pada
waktu yang bersamaan ada fenomena yang lagi nge-trend dimasyarakat Arab dimana
mereka senang menikahi perempuan musyrik karena biasanya perempuan-permpuan itu
mempunyai jabatan bagus dimasyarakatnya, atau dengan kata lain mereka adalah
perempuan yang berpangkat.
Dengan kejadian seperti ini, maka turunlah QS.
Al-baqarah: 221, sebagai jawaban bahwa apa yang dilakukan oleh Abdullah bin
Rawahah bukan sebuah hal yang buruk.
b. Riwayat Kedua
Apa yang dikeluarkan oleh Abu Hatim, Ibnu Al-Mundzir dari
Muqatil bin Hayyan berkata: Ayat ini turun terkait dengan cerita Martsad
Al-Ghanawi yang meminta idzin kepada Rasulullah SAW untuk menikahi seorang
perempuan musyrik yang mempunyai starata sosial yang bagus pada kabilahnya
bernama ‘Anaq. Martsad berkata: “Ya Rasulullah, sungguh aku tertarik (untuk
menikahi) perempuan ‘Anaq itu”. Lalu Allah menurunkan ayat ini sebagai jawaban
atas pertanyaan sahabat Martsad Al-Ghanawi.
Hukum Fiqih
Dalam hal ini setidaknya ada dua permasalahan besar
terkait dengan nikah beda agama. Pertama terkait hukum laki-laki muslim
menikahi perempuan musyrik, dan yang kedua terkait dengan perempuan muslimah
menikah dengan laki-laki musyrik.
Pertama: Muslim Menikah Dengan Bukan Muslimah
Di Indonesia perkara ini agak jarang terjadi, namun perlu
juga kiranya kita mencari tahu bagaimana detail pendapat ulama dalam masalah
ini. Cinta memang buta, namun cinta tetap tidak bisa membutakan hukum. Dalam
hal ini setidaknya ada dua pendapat besar:
1. Mayoritas Ulama
Mayoritas ulama menyepakati, termasuk didalam ulama empat
madzhab, bahwa haram menikahi perempuan bukan muslimah selain ahli kitab
(Yahudi dan Nasrani). Keharaman menikahi perempuan bukan muslimah selain ahli kitab
itu berdasarkan QS. Al-Baqarah: 221 dia atas, dan kebolehan menikahi perempuan
ahli kitab itu didasarkan kepada QS. Al-Maidah ayat ke-5.
Dalam bahasa lainnya bahwa menurut mayoritas ulama boleh
menikahi perempuan ahli kitab, walaupun status kebolehannya juga berkisar
antara mubah dan makruh.
Namun yang juga perlu digaris bawahi bahwa kebolehan
menikahi mereka mensyaratkan bahwa perempuan ahli kitab itu adalah sosok yang
suci dari perzinahan, masuk dalam katagori muhshanat dan statusnya bukan
penduduk harbiy yang boleh dibunuh dan dalam madzhab Syafi’i ahli kitab yang
dimaksud nasabnya harus sampai kepada Bani Isra’il, walaupun syarat yang ketiga
masih diperselisihkan antara ulama.
Jumhur ulama menilai bahwa lafazh al-Musyrikat pada QS.
Al-Baqarah: 221 tidak mengandung makna ahli kitab, didasarkan pada ayat
berikut:
مَّا يَوَدُّ الذين كَفَرُواْ مِنْ أَهْلِ الكتاب وَلاَ
المشركين
“Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang
musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu.
dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya
(kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar” (QS. Al-Baqarah: 105)
لَمْ يَكُنِ الذين كَفَرُواْ مِنْ أَهْلِ الكتاب والمشركين
“Orang-orang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang
musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum
datang kepada mereka bukti yang nyata” (QS. Al-Bayyinah:
1)
Pada kedua ayat diatas kata Ahl al-Kitab dan al-Musyrik
digabungkan atau di ‘athafkan dengan khuruf waw, dalam kaidahnya kata yang
berada sebelum huruf waw dan kata yang datang sesudahnya memberi isyarat bahwa
keduanya adalah dua hal yang berbeda, bukan satu jenis. [يقتضي المغايرة]
Hal ini dikuatkan dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibu
Abbas ra, dan ini juga pendapat Malik bin Anas dan Sufyan As-Tsauri dan
Abdurrahman Al-Auza’i bahwa keharaman menikahi non muslimah pada QS.
Al-Baqarah: 221 itu dihapus keberlakuannya (di-nasyakh) oleh QS. Al-Maidah: 5
yang membolehkan menikahi ahli kitab.
Pendapat yang hampir sama juga dinyatakan oleh Qatadah
dan Sa’id bin Jubair yang menilai bahwa QS. Al-Baqarah: 221 sifatnya umum (‘am)
yang maksudnya dan tujuannya dikhususkan (takhsish) maknanya oleh QS.
Al-Maidah: 5. Dalam istilah Ushul Fiqih pendalilan seperti ini di kenal dengan
istilah ‘am urida bihi al-khusush [العام أريد به الخصوص]
Dan menurut penjelasan At-Thabari pendapat Qatadah ini
adalah pendapat yang paling kuat, bahwa QS. Al-Baqarah: 221 ini adalah ayat
yang tampaknya ‘am (umum) tapi sebenarnya ia adalah ayat khas (khusus), dan
tidak ada yang dihapus, serta ahli kitab tidak masuk dalam pelarangan yang
dimaksud [أن الآية
عام على ظاهرها خاص باطنها ، لم ينسخ منها شيء وأن نساء أهل الكتاب غير داخلات
فيها]
Kebolehan menikahi ahli kitab juga dikuatkan dengan
kenyatan ternyata sahabat Rasulullah SAW yang bernama Khudzaifah bin Al-Yaman
dan Tholhah bin Ubaidillah juga menikahi perempuan ahli kitab, lebih tepatnya
dalam riwayat lainnya salah seperti yang ditulis oleh Ibnu Katsir bahwa
Hudzaifah menikah dengan perempuan Nashrani dan Tholhah menikahi perempuan
Yahudi.
Melihat kenyataan ini lalu Umar bin Khattab memerintahkan
agar sahabat Hudzaifah dan Tholhah ini menceraikan istrinya yang Nashrani dan
Yahudi itu. Memang Umar bin Khattab termasuk sahabat yang paling gentol
mengkampanyekan agar tidak menikahi perempuan ahli kitab.
Kampanye ini bukan berarti sosok Umar mengharamkannya,
namun hal ini dilakukan hanya semata untuk kehati-hatian agar laki-laki muslim
tidak gampang memutuskan untuk menikahi mereka, terlebih bahwa keberadaan
muslimah masih sangat memadai jumlahnya untuk dinikahi.
Jangan sampai gara-gara Hudzaifah menikahi gadis ahli
kitab, lalu kemudian yang lain juga mengikutinya dengan dengan cara mencari
pembenaran dari apa yang di lakukan oleh Hudzaifah, sahabat Rasulullah SAW,
penjelasan ini seperti yang ditulis As-Shobuni dalam Rawa’i al-Bayan-nya.
Dari cerita Umar bin Khattab ini kita bisa menilai bahwa
sah hukumnya menikahi perempuan ahli kitab, dengan dalil bahwa perintah tholak
(cerai) yang diminta oleh Umar tersebut tidak mungkin terjadi kecuai jika
sebelumnya sudah ada hubungan pernikahan yang sah.
Jika saja menikahinya haram, maka sudah barang tentu Umar
tidak akan memerintahkan mereka berdua untuk menceraikannya, melainkan langsung
pisah secara otomatis, dan bahwa pernikahan itu tidak diakui. Jika nikah belum
sah tidak mungkin ada perceraian.
Namun At-Thabari dalam Jami’ al-Bayan-nya meyakini bahwa
cerita tentang Umar diatas tidak bisa dibenarkan dengan begitu saja, bagaimana
mungkin sosok Umar sangat berani bersikap seakan berseberangan dengan kehalalan
yang Al-Quran sampaikan, karena riwayat cerita tersebut bermasalah dari sisi
jalur periwayatan, justru menurut At-Thabari jalur periwayatan yang lebih kuat
mengabarkan kepada kita akan perkataan Umar berikut:
المسلم يتزوج النصرانية، ولا يتزوج النصراني المسلمة
“Seorang muslim (boleh) menikahi perempuan Nashrani, dan
seorang Nasrani tidak boleh menikahi perempuan muslimah”
Al-Qurthubi dalm tafsirnya menambahkan bahwa pendapat
mayoritas ulama ini semakin kuat dengan didukung oleh pendapat banyak sahabat
lainnya, seperti Utsman, Thalhah bin Ubaidillah, Ibnu Abbas, Jabir, Hudzifah
bin Al-Yaman, juga didukung oleh pendapat para tabi’in yang juga senada,
seperti pendapat Sa’id bin Musayyib, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Mujahid,
Thowus, Ikrimah, As-Sya’bi, dan Ad-Dhohhak.
Namun sekarang ini, justru kita dihadapkan dengan
kenyatakan bahwa ada sekian banyak perempuan muslimah yang belum menikah dengan
jumlah bahkan sampai tiga kali lipat atau lebih dari keberadaan laki-laki
muslim, jika laki-laki muslim sudah terkena virus merah jambu dengan perempuan
Yahudi atau Nasrani, alangkah malangnya nasib menjadi muslimah.
Mereka lebih layak untuk dinikahi, sepertinya lelaki
muslim sedini mungkin perlu memasang pagar yang kuat agar hatinya kokoh menahan
panah-panah cinta yang mungkin ditiupkan ke hati mereka melalui banyak cara
yang kadang tidak terduga.
Cepat lupakan kesan baik mereka yang mungkin akan
berlanjut ke hati. Muslimah kita masih banyak yang lebih cantik dan dan lebih
menarik serta lebih bisa mendatangkan sakinah di rumah tangga. Jikapun
seandainya menikahi mereka itu dengan niat politik juga butuh berpikir seribu
kali untuk dijalani.
2. Pendapat Ibnu Umar
Berbeda dengan pendapat mayoritas ulama diatas, maka Ibnu
Umar punya pendapatnya sendiri yang lebih ekstrim akan keharaman menikahi
perempuan bukan muslimah secara mutlak, termasuk didalamnya haram menikahi
perempuan ahli kitab.
Sepertinya anak kesayangan Umar bin Khattab ini
berpendapat bahwa QS. Al-Maidah yang menjelaskan kebolehan menikahi perempuan
ahli kitab dihapus keberakuannya (di-nasakh) oleh QS. Al-Baqarah: 221 yang
melarang menikahi perempuan musyrik secara umum, tanpa pengecualian.
Secara tegas jika Ibnu Umar ditanya tentang hukum
laki-laki muslim menikahi perempuan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) beliau
dengan tegas biasanya akan menjawab dengan:
حرّم الله تعالى المشركات على المسلمين، ولا أعرف شيئاً من
الإشراك أعظم من أن يقول المرأة: ربّها عيسى، أو عبدٌ من عباد الله تعالى
“Allah telah mengharamkan perempuan musyrik bagi kaum
muslimin, dan saya tidak tahu jika ada dosa syirik yang lebih besar melebihi
dosa perempuan yang dengan keyakinannya mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa,
atau salah satu hamba Allah lainnya”
Namun pendapat ini dinilai lemah, karena menurut
mayoritas ulama bahwa QS. Al-Baqarah: 221 itu turun pada awal-awal periode
Madinah, sedangkan ayat QS. Al-Maidah: 5 justru turunnya belakangan, ayat
tersebut pada akhir-akhir periode Madinah.
Jika memakai kaidah nasikh dan mansukh maka sudah pasti
QS. Al-Baqarah: 221 statusnya menjadi mansukh (yang dihapus), sedang ayat QS.
Al-Maidah: 5 statusnya adalah sebagai nasikh (yang menghapus) keberlakuan hukum
pada ayat sebelumnya.
Kedua: Muslimah Menikah Dengan Non Muslim
Lanjutan dari QS. Al-Baqarah: 221 adalah perihal larangan
menikahkan perempuan muslimah dengan non muslim atau kafir. Non muslim yang
dimasud adalah seluruh laki-laki yang bukan muslim, apapun nama agamanya, ini
yang membedakan antara pebahasan pertama dengan yang kedua.
Hal ini dikuatkan melalui ayat berikut:
لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka” (QS. Al-Mumtahanah: 10)
Sosok besar Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsir
menilai bahwa potongan ayat terakhir ini tidak ada yang mengkhususkannya, dan
Al-Qurthubi meyakinkan bahwa pelarangan ini sudah ada kata sepakat (ijma’) dari
para ulama, sehingga meragukannya bukanlah sebuah kebaikan, apalagi
mendiskusikannya ulang didunia akademis yang kadang ngalur-ngidul tidak jelas
arahnya kemana.
Kalimat “وَلَا تُنْكِحُوا” dengan
harakat dhommah (di depan) pada huruf ta’ terjemah Indonesia: “Janganlah kalian
menikahkan”, maksudnya adalah menikahkan perempuan muslimah dengan non muslim.
Dari ayat inilah para ulama menilai bahwa perempuan, khususnya yang berstatus
perawan, tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, dia harus dinikahkan oleh
walinya.
Pernikahan tanpa wali diyakini tidak sah oleh mayoritas
ulama, termasuk didalamnya ulama empat madzhab minus madzhab Abi Hanifah, hal
ini lebih dikuatkan dengan keterangan hadits Rasulullah SAW:
أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا
فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا
بَاطِلٌ
“Perempuan mana saja yang menikah tanpa restu walinya
maka nikahnya batil, maka nikahnya batil, maka nikahnya batil” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
لاَ نِكَاحَ إِلا بِوَلِيٍّ
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali” (HR. Ahmad)
لاَ تُزَوِّجُ المَرْأَةُ نَفْسَهَا فَإِنَّ الزَّانِيَةَ
هِيَ الَّتِي تَزَوِّجُ نَفْسَهَا
“Janganlah seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri,
karena sungguh (hanya) pezinah saja yang menikahkan dirinya sendiri” (HR. Ad-Daru Quthni)
Dari beberapa kasus yang terjadi di negri kita ini
sepertinya para orang tua perempuan atau wali dari perempuan muslimah kita
sedikit kecolongan, sehingga sebagian pernikahan beda agama itu justru sudah
terjadi tanpa sepengetahuan orang tua sebelumnya. Dan lebih parahnya terkadang
justru dari keluarga muslimah itu sendiri yang terkesan berbangga hati ketika
anaknya menikah dengan laki-laki gagah non muslim. Na’udzubillah.
Keharaman menikahkan muslimah dengan non muslim itu
setidaknya didasari dengan landasan bahwa Islam itu tiggi dan tidak ada yang
boleh lebih tingi darinya, sedang kita tahu bahwa pada level keluarga posisi
tertinggi dipegang oleh suami yang nanti akan menjadi ayah dari anak-anak.
Sehingga sangat dikhawatirkan akan hadirnya banyak
mudharat dalam keluarga tersebut, kebahagiaan yang diraih dari model pernikahan
ini adalah kebahagiaan yang semu, bagaimana mau bahagia jika agama tidak
meridhoi, belum lagi jika keluarga besar juga tidak merestui, kebahagiaan macam
apa yang akan diraih dengan ketidakridhoan dari agama dan keluarga?
Sakinah yang didamba dan dijanjikan akan diraih oleh
mereka yang menikah tidak akan hadir jika lewat pernikahan seperti ini,
setidaknya ini yang kita saksikan dari banyak tanyangan di media dan jejaring
sosial, belum dari beberapa kenyataan yang ada disekiling penulis yang penulis
lihat sendiri dengan mata dan kepala.
Ada sebagian kelompok yang menilai bahwa hukum seperti
ini tidak adil, mengapa laki-laki muslim muslim boleh menikahi Yahudi dan
Nasrani, sedang perempuan muslimah tidak boleh dinikahi oleh mereka? Agaknya
ada kesan egaois yang yang ditampilkan.
Untuk menjawab pertanyaan siapa yang egois dan tidaknya
bolehlah kita pinjam jawaban yang pernah disampaikan oleh As-Shobuni berikut:
نحن المسلمين نؤمن بنبيكم (عيسى) وكتابكم (الإنجيل) فإذا
آمنتم بنبينا وكتابنا نزوجكم من بناتنا
“Kami ummat Islam beriman dengan Isa dan kitab Injil,
jika kalian mau beriman dengan nabi kami (Muhammad SAW) dan kitab kami
(Al-Quran) maka kami akan menikahkan anak-anak kami dengan kalian” Untuk
mengakhiri pembahasan ini mari kita sempurnakan bacaan ayat kita dengan ayat
penutup yang Allah sampaikan sebagai salah penguat akan adanya larangan menikah
beda agama, terkhusus dalam kasus muslimah menikah dengan non muslim.
Firman Allah:
أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو
إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ
لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran” (QS. Al-Baqarah: 221)
Semenarik apapun mereka, sekaya apaun mereka, setinggi
apapun kedudukan mereka, dan sebagus apapun nasab keturunan mereka, jangan lupa
masih banyak muslim dan muslimah yang menarik, kaya, berkedudukan, dan berdarah
biru, dan yang tidak kalah pentingnya mereka insya Allah shalih dan shalihah
(kecuali yang tidak)
Wallahu a’lam bisshawab
semoga bermanfaat,,,,,,,,,By:Nur Hayati Binti Ahmad